“udahan ?” tanyaku perlahan , berharap yang aku dengar itu
salah.
“iya, sekarang lihatlah , kita sudah melakukan ini berulang
kali. Susah menyatu, beda, dan masih main ego kita sendiri-sendiri”
“kita ? kamu ! apa kamu udah lelah sama wanita yang tiap
hari membangunkanmu untuk sholat subuh, mengingatkanmu agar tak lupa sarapan,
membantu tugas-tugas kuliahmu, mengelap keringatmu dengan tissue ketika kamu
makan siang, memeluk pinggangmu ketika di perjalanan, mendengar cerita harianmu
sebelum tidur, begitu ? bukannya aku tak ikhlas akan semuanya, tapi aku ragu kalau setelahku apa akan ada wanita
yang sanggup menggantikanku untukmu”
“mungkin tak ada, tapi aku akan lebih sering menyakitimu.
Bahkan entah kenapa akhir-akhir ini kamu lebih sering marah-marah tak jelas apa
sebabnya”
“masih bertanya apa sebabnya ? aku cemburu. Apa kurang jelas
sikapku yang tiba-tiba berubah arogan ketika kamu sehabis bersamanya dan
menemuiku ? Sakit ketika kamu bermanja-manjaan dengan wanita lain. Aku tak rela
cinta mu terbagi dengannya, aku iri ketika kamu mengusap rambutnya dengan
lembut, sama seperti kamu membelai rambutku”. Pandanganku mulai kabur karna
pelupukku telah basah dengan airmata yang seharusnya bisa aku tahan. Tidakkah
dia tau bahwa aku yang terbaik untuk mengiringi setiap langkahnya ? Kenapa dia
memilih meninggalkan semua apa yang telah aku beri. Aku tulus mencintainya,
walau tak ada orang lain yang tau.
“kamu masih kalah sabar dengan dia, hanya itu kekuranganmu.
Maaf , alangkah baiknya kamu melangkah tanpaku, agar kamu tak lebih sakit lagi.
Aku mencintaimu, maka dari itu aku takut melukaimu lebih jauh lagi. Aku
menyayangimu, maka dari itu aku ingin kau mendapatkan lelaki yang lebih bisa
menjaga perasaan lembutmu, yang bisa meredam emosimu, yang bisa tidak membuatmu
cemburu”. Dia menarik bahuku dan menenggelamkan kepalaku di dada yang bidang
itu, mengusap rambutku dengan pelan, sesekali dia menciumnya. Aku tak membalas
peluknya, aku sibuk dengan perasaan yang masih belum aku mengerti. Ingin marah,
ingin menangis, ingin menahannya agar tak meninggalkanku. Tapi apa daya, wanita
dipilih, lalu ditinggal , begitukah ?
“Jika kamu lelah dengan sikapku, pergilah. Kembalilah
dengannya yang lebih segalanya dariku, tinggalkan aku sendiri, aku akan menjadi
wanita tegar dengan hati yang remuk di genggaman tangannya. Semoga kamu tak
terganti, semoga aku benar-benar tulus mencintaimu, meski tanpa dicintai kamu
lagi. Jika kau tak meneruskan perasaan ini, maka biar aku berjalan sendiri”.
Aku mendorong pelan tubuhnya, melepaskan pelukan yang akan sangat kurindukan.
Memberanikan diri menatap wajahnya yang getir melihat raut wajahku yang sayu. Aku
tersenyum pelan, agar terlihat kuat di hadapnya.
“aku akan sangat merindukanmu” ucapnya pelan.
“aku juga akan rindu membuat masakan kesukaanmu, sekarang
pergilah, dia menunggumu di seberang sana”
Dia sedikit menunduk , lalu membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi menjauhiku. Aku hanya mampu melihat punggungnya menjauh,
mendekat dengan pelukan wanita lain jauh disana. Bahagia wanita itu ketika apa
yang dia tunggu sedari tadi sudah menampakkan wajahnya terlihat jelas dengan
senyuman merekah. Iya, dia manis sekali, dan lebih beruntung daripada aku.
Deras sekali airmata yang tertumpah ruah di pipiku, bahkan aku tak sanggup
berdiri lagi. Kaki yang sedari tadi menahan beban tubuhku sudah tak mampu
menahan sakit yang menyeruak dihatiku. Aku terduduk lemas, terdiam, dan
airmatalah saksi bisu atas segenap perasaanku.