Senin, 09 Juni 2014

Sepuluh Pertama


Untukmu, pria yang menawan.

Bagai sebuah pelabuhan, tempatku pada akhirnya berpulang. Tanpamu kapal-kapal rentetan kata hati ini akan terombang-ambing di tengah lautan, yang tak tahu kemana arah lajur gelombang. Tempatku menjadikanmu untuk sebuah alasan, atas penantian yang sebelumnya seakan mengambang. Gambaran nyata sosokmu hadir dalam rengkuhan, yang tak lagi hanya menjadi sebuah rapalan tangan dalam ceritaku untuk berjuang.

Sayangku, pria yang rupawan.

Terimakasih untuk semua cinta yang masih aku anggap sebuah kejutan. Terimakasih telah meluapkan segala perasaan. Terimakasih atas tulusnya cinta yang mengikat pada keikhlasan. Terimakasih atas cerita-cerita kecil yang terpasung menciptakan sebuah harapan.

Selamat tanggal sepuluh pertama, detik indah kata-kata pengikatku bersamamu meluap bersama desir angin malam kala itu yang membawa serta hatiku melayang di udara, atas dasar namaku dan namamu, atas dasar hatiku dan hatimu. Sertakan kisah ini menjadi sejarah romansa asmara yang terlukis di langit Tuhan, membawa ikatan kita menjajaki waktu untuk masa yang akan lama. Semoga. Aamiin.

Semarang, 10 Juni 2014

Bersama aroma wangi tubuhmu,

Nur Fikasari

Selasa, 03 September 2013

Aku Tak Mengharapkan Ini


“udahan ?” tanyaku perlahan , berharap yang aku dengar itu salah.
“iya, sekarang lihatlah , kita sudah melakukan ini berulang kali. Susah menyatu, beda, dan masih main ego kita sendiri-sendiri”
“kita ? kamu ! apa kamu udah lelah sama wanita yang tiap hari membangunkanmu untuk sholat subuh, mengingatkanmu agar tak lupa sarapan, membantu tugas-tugas kuliahmu, mengelap keringatmu dengan tissue ketika kamu makan siang, memeluk pinggangmu ketika di perjalanan, mendengar cerita harianmu sebelum tidur, begitu ? bukannya aku tak ikhlas akan semuanya, tapi  aku ragu kalau setelahku apa akan ada wanita yang sanggup menggantikanku untukmu”
“mungkin tak ada, tapi aku akan lebih sering menyakitimu. Bahkan entah kenapa akhir-akhir ini kamu lebih sering marah-marah tak jelas apa sebabnya”
“masih bertanya apa sebabnya ? aku cemburu. Apa kurang jelas sikapku yang tiba-tiba berubah arogan ketika kamu sehabis bersamanya dan menemuiku ? Sakit ketika kamu bermanja-manjaan dengan wanita lain. Aku tak rela cinta mu terbagi dengannya, aku iri ketika kamu mengusap rambutnya dengan lembut, sama seperti kamu membelai rambutku”. Pandanganku mulai kabur karna pelupukku telah basah dengan airmata yang seharusnya bisa aku tahan. Tidakkah dia tau bahwa aku yang terbaik untuk mengiringi setiap langkahnya ? Kenapa dia memilih meninggalkan semua apa yang telah aku beri. Aku tulus mencintainya, walau tak ada orang lain yang tau.
“kamu masih kalah sabar dengan dia, hanya itu kekuranganmu. Maaf , alangkah baiknya kamu melangkah tanpaku, agar kamu tak lebih sakit lagi. Aku mencintaimu, maka dari itu aku takut melukaimu lebih jauh lagi. Aku menyayangimu, maka dari itu aku ingin kau mendapatkan lelaki yang lebih bisa menjaga perasaan lembutmu, yang bisa meredam emosimu, yang bisa tidak membuatmu cemburu”. Dia menarik bahuku dan menenggelamkan kepalaku di dada yang bidang itu, mengusap rambutku dengan pelan, sesekali dia menciumnya. Aku tak membalas peluknya, aku sibuk dengan perasaan yang masih belum aku mengerti. Ingin marah, ingin menangis, ingin menahannya agar tak meninggalkanku. Tapi apa daya, wanita dipilih, lalu ditinggal , begitukah ?
“Jika kamu lelah dengan sikapku, pergilah. Kembalilah dengannya yang lebih segalanya dariku, tinggalkan aku sendiri, aku akan menjadi wanita tegar dengan hati yang remuk di genggaman tangannya. Semoga kamu tak terganti, semoga aku benar-benar tulus mencintaimu, meski tanpa dicintai kamu lagi. Jika kau tak meneruskan perasaan ini, maka biar aku berjalan sendiri”. Aku mendorong pelan tubuhnya, melepaskan pelukan yang akan sangat kurindukan. Memberanikan diri menatap wajahnya yang getir melihat raut wajahku yang sayu. Aku tersenyum pelan, agar terlihat kuat di hadapnya.
“aku akan sangat merindukanmu” ucapnya pelan.
“aku juga akan rindu membuat masakan kesukaanmu, sekarang pergilah, dia menunggumu di seberang sana”
Dia sedikit menunduk , lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi menjauhiku. Aku hanya mampu melihat punggungnya menjauh, mendekat dengan pelukan wanita lain jauh disana. Bahagia wanita itu ketika apa yang dia tunggu sedari tadi sudah menampakkan wajahnya terlihat jelas dengan senyuman merekah. Iya, dia manis sekali, dan lebih beruntung daripada aku. Deras sekali airmata yang tertumpah ruah di pipiku, bahkan aku tak sanggup berdiri lagi. Kaki yang sedari tadi menahan beban tubuhku sudah tak mampu menahan sakit yang menyeruak dihatiku. Aku terduduk lemas, terdiam, dan airmatalah saksi bisu atas segenap perasaanku.

Mungkin Kamu Akan Pergi


Pantaskah jarak dan kesempatan harus dipersalahkan atas buruknya hubungan kita? Ketika mata sulit bertemu, tangan sulit merangkul, dan kedua bahu sulit bersatu, airmatakah yang menjawab bayarannya ? Rindu yang seharusnya menjadi alasan untuk bertemu, kini berubah menjadi rasa yang sulit menyatu. Egoisme menjadi alat untuk mendapat perhatian, namun tanpa sadar , itulah yang membusukkan cinta kita.
Kau berubah, sangat berubah. Sudah lama aku jauh dari perhatianmu. Bahkan aku menangis pun kau tak lagi peduli. Ingin sekali berteriak kenapa kau tancapkan rasa sedalam ini kalau akhirnya kau pergi? setelah pengabaian yang kau berikan, apa kau akan meninggalkanku ? Lalu dimanakah kata-kata manismu yang tertulis rapi dalam layar handphoneku setiap malam sebagai pengantar tidurku ?
Aku merindukan tawa, aku merindukan canda , aku merindukan bahagia, darimu tentunya. Sulit kutemukan jawaban atas pengabaianmu selama ini. Dan sulit pula kutemukan penawar atas segala rindu dan luka yang kau beri.
Sungguh bila ini pertanda akhir kita, akhirilah. Tapi jangan kau buat luka baru yang cukup membutakan pikiranku atas kamu. Jika memang itu yang terbaik untukmu, lakukanlah .. jangan tanya perasaanku lagi, karna pasti bukan hanya sekedar luka biasa yang akan ku derita. Jika memang ada yang lebih baik dariku untuk mencintaimu, ambillah.. jangan tanya apa akan ada yang lebih baik darimu dalam mencintaiku, karna seberapa sakit yang pernah kualami denganmu, aku pernah merasakan hal yang membahagiakanku saat bersamamu, mendengar kata cintamu. Entah rasa itu memang sebenarnya ada atau tidak, tapi aku cukup kau buat melayang bahagia. Memabukkan, sebetapapun aku terluka, aku memaafkanmu. Sebetapapun aku kecewa, aku tak berhenti mengharapkanmu. Sebetapapun lama kedatanganmu, aku masih disini menunggu. Walau kutahu, kau takkan datang . Kau takkan menemuiku.
Dalam perpisahan kita nanti, pasti akulah yang tak kuasa menahan airmata. Bukan untuk mencari perhatianmu, karena kau akan mengabaikannya. Bukan untuk berpura-pura kesakitan, karna sudah bukan sakit lagi yang kurasakan. Tapi sebagai bentuk ungkapan terimakasih yang tak mampu diucapkan bibir ini, atas segala yang pernah kau beri.

Kamis, 06 Juni 2013

Hati Kecil Ini


Apa kabarmu saat ini sayang ? cukup kah sapaanku mengusap rindumu padaku sekarang ? jangan tanya kabarku, karena jawabanku pun tak akan asing ditelingamu. Ya, memikirkanmu. Lalu bagaimana denganmu disana ? tentu tidak ! Terlalu sibuk untukmu kalau hanya sekedar memikirkanku. Ah . Berharap apa aku ini .. Terlalu tinggi dan siap sewaktu-waktu terjatuh dan cukup terpanting keras. Kamu bisa sewaktu-waktu meninggalkanku, seperti katamu beberapa hari yang lalu. Lalu apa yang membuatmu melihatku kembali pada saat itu ? Membutuhkanku ? Apa arti hadirku untukmu hanya sekedar ‘butuh’ ? Ada semacam zat adiktif yang membuatku membuka lengan untuk menerima pelukanmu kembali. Ada semacam racun yang perlahan-lahan menggerogoti sistem imunsku saat ini. Terlalu sering aku menangis, menghadirkanmu didalam otakku di setiap langkah , bukan hal mudah ! Aku saat ini sakit sayang .. jangan berpikir ini murni karenaku sendiri , tapi perkataan kasarmu yang mengendap dan mengeras di hatiku menciptakan penyakit baru yang sulit aku buang. Aku memang tak akan mengabarimu perihal sakitku, karna aku takut akan membuatmu menjauhiku. Aku takut amarahmu. Aku takut ketidakpedulian yang akan kau ciptakan terhadapku. “jangan kasar-kasar lagi, tak hanya membuatku takut tapi juga akan menyakitiku, kumohon , aku sudah rapuh karenamu”. Pernah mendengarnya dariku kan ? tapi kau tetap mengulang lagi dan lagi, bahkan semakin liar. Dulu kamu tak seperti ini. Dulu aku tak sesakit ini. Sekarang meski sudah kau dengar kata maaf dariku , itu takkan mengurangi emosimu. Dan aku .. cukup tersiksa.
Aku sakit sayang , bahkan saat menulis ini aku melemah , semakin lemah ketika aku tahu kamu sedang bersama wanita lain. Mual. Dingin. Pucat. Tak apa, ini ulahku sendiri , biar ini resiko yang aku tanggung sendiri pula. Ya . Silakan berpikir demikian dengan alasan kau tak memintaku untuk begini. Tapi aku takut untuk menemuimu setelah ini. Aku takut tak bisa membuatmu bahagia. Aku takut membuatmu merasa sia-sia sudah menemuiku jika yang kau lihat hanya kediamanku, hanya kekusutan wajahku, bahkan untuk membelai rambutmu saja sangat sulit. Takut melihat wajah malasmu menemuiku lagi, aku takut akan ada amarah-amarahmu setelah ini. Aku takut tak berdaya di depanmu ..
Maaf sayang.. bonekamu sakit .. pandangannya berkunang-kunang, sayu , lemah, dan , semua berubah menjadi gelap.

Kamis, 21 Februari 2013

Tuhan Sedang Menuntunku


“aku lelah, aku lelah dengan segenap perasaan ini. Aku muak menjadi pihak yang tersakiti”. Kata itu sering muncul dari hatiku. Topeng-topeng yang berlalu-lalang seakan penuh dramatisasi yang tak ku mengerti. Mereka dengan mudah menyembunyikan pisau setajam belati di punggung mereka, dan mereka tutupi dengan berpura-pura menjadi malaikat bagi siapapun orang dihadapannya. Padahal, pisau itu tergores darah segar yang baru saja hinggap dari hatiku. Lalu, mereka putarbalikkan fakta seakan aku yang menyakiti mereka. Inikah cara mereka hidup dan menemukan kebahagiaannya ?
Mereka yang kumaksud adalah kamu dan dia. Aku tak mengerti sebab-musabab mengapa yang dulu dikata indah harus berubah dengan perasaan yang mencekam ? mengapa kamu yang dulu begitu lembut dan mengerti ku kini berubah  menjadi zombie yang mengerikan dan mencekikku ? mengapa yang dulu saling melengkapi kini menjadi saling memusuhi ? Sedemikian kamu sekarang , melupakan apa yang kita korbankan dulu , apa yang kita sebut cinta , apa yang kita sebut “aku dan kamu itu kita”. Dulu berwarna , sekarang kelabu. Dulu kita berbicara, sekarang membisu. Dulu mendekat, sekarang menjauh. Dulu terasa hangat, sekarang membeku. Dulu tertawa, sekarang menangis.
Hey? Menangis ? sekarang aku tak bisa menangisimu lagi. Mengingat sedemikian kamu membenciku, mengingat sedemikian usahamu melupakanku, mengingat sedemikian kejam kamu perlakukan aku, mengingat sedemikian dekat kamu dengannya dihadapanku. Merasa cemburu pun tidak lagi kurasa. Aku takut ini yang dikata , Tuhan mengambil cinta yang dulu dianugerahkan untuk kita. Tuhan ambil kembali kebahagiaan kita. Tuhan jauhkan lagi kita seperti  dulu saat kita belum saling mengenal. Lalu , mengapa Tuhan ambil segalanya apa yang berharga untukku ?
Tersadar akan itu, terbukalah mataku. Realita pahit ini cambukan dari Tuhan untuk membuatku bangun. Membuatku paham betapa kerasnya duniaku. Membuatku belajar memisahkan sikap mana yang benar-benar baik, atau hanya sekedar simpatisme sesaat yang akan berubah menjadi musuh. Tuhan mengirimku musuh, bukan berarti Tuhan memperumit keadaanku, iya kan ? Tuhan memberiku musuh , karena Tuhan mendidikku untuk bangun. Berdiri dan lihat kedepan bahwa jalan yang harus ku lalui begitu panjang. Bangun dan takkan takut terjatuh lagi untuk membuatku hebat. Bertahan dengan rasa sakit yang menimpa untuk menjadi orang yang kuat. Ya . Terima kasih musuh , melaluimu aku belajar berdiri setelah kau jatuhkan aku berkali-kali. Melaluimu aku belajar untuk mengubah hidupku menjadi pribadi yang kuat, dan merasa berkompetisi yang membuatku berlatih untuk menjadi lebih baik.
Tuhan , ampuni orang yang pernah menyakitiku. Setidaknya mereka pernah memberiku kebahagiaan, walau setelahnya mereka jatuhkan aku perlahan. Setidaknya mereka pernah memikirkanku untuk mengalahkanku. Setidaknya mereka pernah mengorbankanku demi kebahagiaan mereka sendiri. Setidaknya mereka pernah menusukku perlahan dan setidaknya mereka pernah tertawa diatas airmataku. Permudahkan jalan mereka untuk kembali mengingatMu, dan pelan-pelan menjauhi laranganMu. Permudahkan hidup mereka di masa depan dengan tarik kembali karmaMu yang telah Kau rancang untuk membalas perlakuan mereka. Sadarkan mereka agar tidak memakan korban selanjutnya setelahku. Karena mereka juga hambaMu, karena mereka juga ciptaanMu.
Tuhan , terimakasih atas lindunganMu. Terima kasih atas tuntunanMu.

Ini Boneka dan Luka darimu


Manis memang , ketika kedua tawa itu melebur mencerminkan dunia berhak bahagia, ketika air mata yang tercurah terusap dengan jari yang begitu lembut dan terdengar sayup suara : “kamu bisa ! jangan pernah menyerah arungi hidupmu, biarkan ini pahit dahulu dan manis kemudian akan kau petik. Lihatlah dirimu bintangku, kamu wanita kuat. Bahkan hatiku saja tak sekuat hatimu. Sabar sayang, kau tak sendiri, ada aku, ada pundakku yang mau menerima tangisanmu.”
Sempat aku berteriak, dimana kamu yang dulu ? sesulit inikah kamu membaca keadaanku sekarang? Sayangnya, justru kamu menggores beling kaca yang tajam ke hatiku. Pergi. Dengan segenap luapan emosi yang tercermin dari raut mukamu, memalingkan ke wajah lain , tak peduli ada rintihan “aku merindukanmu”. Sungguh lirih rintihan itu, karna tak punya kekuatan berteriak keras, tak punya daya untuk merangkulmu kembali.
Bisa apa aku sekarang, melihat betapa buruk hubungan kita saat ini. Kau terlihat muak mendengarkan suaraku, kau terkesan jijik menatap wajah sayu ku. Aku menghitung jarak antara kita dalam keseharian, dulu hanya dua kaki , satu kaki, satu langkah , dan ... dekat. Sekarang ? 10 kaki lebih jauh, sebisamu semampumu lebih jauh !
Boneka macam apa yang sudah kau mainkan ini ? mau maunya dulu kau jadikan tempat bersandar, berbagi cerita , berbagi tangis dan kau bawa ia terbang setinggi-tingginya, lalu sekarang kau hempaskan , kau ludahi dan kau lupakan sedemikian apa saja yang sudah pernah kau korbankan untuknya, dan apa yang dia korbankan untukmu itu... sampah. Buang semua tentangnya ! buang saja ! toh kamu punya yang lebih segalanya dari boneka itu. Ada boneka barbie yang lebih menawan, lebih mengerti naluri lelakimu, dan boneka barbie itu takkan membuatmu malu kau bawa kemanapun.
Boneka yang remuk itu sudah tak mampu menangis. Sudah tak mampu mengeluh. Sudah tak mampu marah. Sudah tak mampu memberimu arti kembali. Sudah tak ada yang mau mengambil serpihan-serpihan dari reremukannya. Boneka remuk itu hanya mampu berdoa dalam suara lirih, “Tuhan, maafkan dia, Ampuni hamba yang masih saja memikirkannya,  Ampuni segala apa yang pernah terjadi diantara kita.. Jangan buat dia masuk dalam kehidupan yang sulit seperti hamba, jangan biarkan dia menangis karena cinta, entah suatu masa nanti. Jangan Kau beri karma , biar ini menjadi pembelajaran bagi hamba sendiri. Jangan pernah ia merasakan apa yang hamba rasa saat ini  . Dengarkanlah pintaku , Tuhanku Yang Maha Cinta”
Orang berkata, untuk apa kau perhatikan apa yang tidak memperhatikanmu ? untuk apa kau memintanya untuk mendengarmu sedang dia sudah asyik dengan kehidupannya sekarang? Untuk apa kamu berdoa sedang dia gencar berusaha menunjukkan pada semua orang bahwa kau ini barang menjijikkan ?
Tersadar akan pertanyaan itu , aku membuka mata. Dan aku tau, setidaknya aku sudah membuatmu  tersenyum, dan melalui akulah kamu bahagia saat ini.
Demikian karenamu, aku belajar untuk mengumpulkan serpihan boneka ini dan memperbaikinya, hingga sekiranya ada orang yang sudi mengambilnya dengan iba, mengasihinya, dan berjanji tak melukainya sama seperti apa yang telah kamu lakukan terhadapku .